BOGOR, - Pengembalian pembayaran kelebihan dikarenakan kurangnya spesifikasi volume pekerjaan sebagaimana hasil audit BPK-RI TA.2019 di sejumlah proyek di OPD di Kab.Bagor, sampai saat ini masih menjadi perhatian publik. Dari hasil data yang dikeluarkan Badan Pemeriksaan Keuangan Negara tersebut menyebutkan, ada sejumlah pihak pelaksana/kontraktor yang belum keseluruhannya mengembalikan uang rakyat tersebut ke Kas Daerah.
Hal ini tentunya harus dijelaskan dinas terkait kepada masyarakat sebagaimana dalam UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Publik. Dari jumlah nilai akumulatif yang harus dikembalikan para kontraktor ini mencapai 5.9 Milyar. Tentunya ini bukan nilai yang sedikit.
Selain hal kelebihan pembayaran karena kekurangan spesifikasi volume pekerjaan, Badan Pemeriksa Keuangan RI juga menyoroti perihal hasil pemeriksaan atas pelaksanaan pemilihan penyedia. Di mana hasil pemeriksaan audit menunjukkan adanya ketidakpatuhan yaitu Pokja Pemilihan yang tidak cermat dalam melakukan evaluasi teknis. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa evaluasi tender dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yakni, pemenang tender yang seharusnya gugur pada tahap evaluasi teknis dan evaluasi kualifikasi dinyatakan sebagai pemenang.
Hal tersebut menjadi pertanyaan besar yang ditujukan publik kepada pihak terkait, dalam hal ini PA/KPA/PPK dan Pokja Pemilihan. Tidak hanya itu, kinerja Inspektorat Kab.Bagor sebagaimana fungsinya dalam Peraturan Bupati No.4 Tahun 2020 atas perubahan peraturan Bupati No.44.Tahun 2016, tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Inspektorat patut dipertanyakan.
Timbul berbagai pertanyaan di tengah masyarakat Bogor, terkait dugaan adanya kongkalikong antara kontraktor dengan pihak Pokja Pemilihan. Sehingga perusahaan yang harusnya gugur dalam tender ternyata dimenangkan.
Sementara itu, adanya sebagian pelaksana/kontraktor yang sudah mengembalikan ke Kas Daerah, awak media mencoba mengkonfirmasi ke salah satu PPK terkait hal ini. Dari konfirmasi Indonesiasatu.co.id kepada salah satu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pekerjaan Pembangunan Jembatan kali Angke (Jalur Cepat) Pada Ruas Jalan Sukahati-Jampang STA. 10+000 Kecamatan Kemang, dengan kelebihan pembayaran Rp. 1.290.981.944, 62, (Pekerjaan dilaksanakan oleh PT. Mu) TA.2019, Andri Wistianto, S.T., M.Si, menjelaskan, pihak penyedia sudah mengembalikan dengan cara dicicil. Namun yang bersangkutan tidak mengetahui perihal sudah lunas atau belum terkait hal tersebut.
“ Sudah dicicil, belum tahu sudah lunas apa belum, ” jawab singkat Andri Wistianto, S.T., M.Si saat dikonfirmasi melalui chat WhatShap, Selasa (25/5).
Saat ditanya apakah dalam aturannya boleh pihak penyedia/kontraktor mengembalikan dengan cara dicicil, Kepala UPT Infrastruktur Jalan dan Jembatan Kelas A Wilayah III ini menjelaskan, “ Boleh saja, yang penting ada komitmen dari pihak pelaksana untuk mengembalikan, ”
Dirinya juga menambahkan, setiap kali pembayaran memberitahu/laporan langsung ke dinas. “ Semua arsip ada di dinas, baik untuk bendahara, PPK, PPTK, KPA dan Kadis. Dinas laporan rutin ke Inspektorat, ” sambungnya.
Tempat terpisah, Indraza Marzuki Raiz, selaku anggota Ombudsman RI saat dimintai tanggapannya terkait hal tersebut mengatakan, jika di LHP BPK-RI ditemukan kelebihan pembayaran, maka harus diperjelas, atas kesalahan siapakah sehingga terjadi peristiwa seperti ini. Sehingga jelas siapa yang berkewajiban mengembalikan pembayaran tersebut. Dirinya contohkan, misalnya karena kesalahan kontraktor lah dalam kasus ini sehingga terjadi kelebihan menerima pembayaran.
"Membayar/mengembalikan kelebihan tadi dapat dicicil. Lama dan besaran cicilan biasanya ditetapkan bersama antara PPK dan kontraktor, yang kemudian dilaporkan kesepakatan tersebut ke Kementerian Keuangan dan BPK. Karena izin/persetujuan dan kelayakan ditentukan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan di BPK hanya mengetahui bahwa LHP telah ditindaklanjuti secara layak sesuai dengan izin dan persetujuan Kemenkeu, ” terangnya kepada Indonesiasatu.co.id, Rabu (26/5).
Apakah ketidaksesuaian volume dalam kontrak itu dapat dikategorikan merugikan negara?, Pria yang pernah ditempatkan di KPK pada tahun 2005 ini menjelaskan, “ Saya berpendapat bisa dimasukkan jika memang ada unsur kesengajaan baik oleh pihak PPK dan/atau kontraktor.
Dan, lanjutnya, ”Apakah hal tersebut dianggap melanggar hukum, harus dibuktikan apakah ada niat jahat/buruk dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Untuk diketahui, dalam hasil audit BPK-RI TA.2019, didapati adanya kelemahan dalam pelaksanaan belanja modal Infrastruktur Kab. Bogor yang bersifat ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dengan jumlah nilai temuan sebesar Rp.5.967.671.266, 21,
Ada 27 paket kegiatan proyek-proyek pada TA.2019 di lingkungan Pemkab Bogor diantaranya, DPUPR, Dinsos, Dispora, DPKPP dan Sekretariat DPRD. Dari jumlah nilai temuan BPK, baru sebagian dari pihak kontraktor yang mengembalikan kelebihan pembayaran akibat kekurangan spesifikasi volume dalam kontrak dengan yang terpasang.
Terkait ketidakcermatan Pokja Pemilihan dalam melakukan evaluasi teknis dan PA sebagai pemegang anggaran serta PPK yang berfungsi untuk mengawasi pekerjaan proyek, bisa dikenakan sanksi administratif sebagaimana dalam Peraturan Presiden RI No.12 Tahun 2021 atas perubahan Perpres No.16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pada Pasal 82 ayat (1), (2) dan (3) yang berbunyi;
Pasal 82;
- Sanksi administratif dikenakan kepada PA/KPA/PPK/Pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan yang lalai melakukan suatu perbuatan yang menjadi kewajibannya.
- Pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian/pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Sanksi hukuman disiplin ringan, sedang, atau berat dikenakan kepada PA/KPA/PPK/pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan yang terbukti melanggar pakta integritas berdasarkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peradilan Umum, atau Peradilan Tata Usaha Negara.
Selain terkait sanksi administratif kepada PA/KPA /PPK /Pokja Pemilihan, berdasarkan Peraturan Presiden No.12 Tahun 2021 atas perubahan Perpres No.16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, perusahaan yang melanggar aturan diatas bisa dikenakan sanksi daftar hitam (blacklist) karena pekerjaan tidak sesuai spesifikasi volume dalam kontrak.
Sebagaimana pada pasal 78 ayat 3 huruf (e) dijelaskan bahwa “ Penyerahan barang/jasa yang kualitasnya tidak sesuai dengan kontrak berdasarkan audit", dikenakan sanksi administratif kepada penyedia. Sanksi yang dimaksud tertuang dalam ayat (4) yang berbunyi, “ Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3) dikenakan sanksi administratif berupa;
- . Sanksi digugurkan dalam pemilihan
- . Sanksi pencairan jaminan
- . Sanksi Daftar Hitam
- . Sanksi ganti kerugian dan/ atau
- . Sanksi Denda.
(LUKY JAMBAK)