Perjanjian Kerajaan Sunda Padrao Dengan Bangsa Portugis 1522

    Perjanjian Kerajaan Sunda Padrao Dengan Bangsa Portugis 1522

    Jakarta - Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal atau Padrão Sunda Kelapa adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu (padrão) yang ditemukan pada tahun 1918 di Batavia, Hindia Belanda. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Padrão ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.

    REQnews - Dahulu kala, pada 21 Agustus 1522, sebuah perjanjian bersejarah ditandatangani oleh dua pihak yang bersepakat membentuk sebuah koalisi. Kedua pihak itu adalah Kerajaan Sunda dibawah pimpinan Sri Baduga atau Prabu Siliwangi dan penguasa Malaka, yakni bangsa Portugis.

    Bukti perjanjian itu berbentuk sebuah prasasti, yang kemudian ditemukan pada 1918 di Jakarta, atau nama lainnya Batavia, Hindia-Belanda. Menjadi tanda perjanjian antara utusan dagang Portugis Enrique Lame dan pangeran yang menjadi utusan Kerajaan Sunda, Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian.

    Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, atau Padrao Sunda Kelapa namanya. Prasasti ini menandakan sebuah perjanjian penting, dan harapan Kerajaan Sunda pada masa itu yang sudah terancam dengan penguasaan besar-besaran Kesultanan Banten dan Kesultanan Demak. Sayang, dalam catatan sejarah, perjanjian itu hanyalah tinggal janji, tak pernah sempat ditepati.

    Awal Mula Perjanjian

    Sri Baduga tak menyangka, Kesultanan Banten dan Demak benar-benar menguasasi Pulau Jawa bagian barat, dan semakin masuk ke wilayah ke wilayah kekuasaannya. Berbagai pelabuhan penting, termasuk Cirebon sudah berada di bawah kekuasaan musuh.

    Sang raja hanya punya satu harapan, ia harus mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa agar tak jatuh ke tangan lawannya. Perundingan di internal kerajaanpun akhirnya berlangsung dan memutuskan, Sunda harus meminta bantuan kepada Portugis yang saat itu sudah menjadi penguasa di Pelabuhan Malaka, salah satu pusat perdagangan paling strategis di dunia.

    Akhirnya, Prabu Siliwangi mengutus sang pangeran, Surawisewa selama dua kali, pertama pada 1512 dan 1521. Saat itu Portugis diberi tawaran yang hampir sulit ditolak, yakni perjanjian perdagangan lada dan diizinkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa.

    Portugis benar-benar tergiur dengan janji itu, di satu sisi Kerajaan Sunda akhirnya memperoleh kawan yang kuat. Pada 1522, komandan benteng Malaka Jorge de Alburquerque mengutus kapal Sao Sebastiao yang dipimpin Enrique Leme ke Sunda Kelapa. Setibanya di pelabuhan, armada Portugis disambut hangat oleh Surawisesa yang telah naik takhta menggantikan ayahnya, Sri Baduga.

    Perjanjian pun akhirnya dimulai. Surawisesa menyampaikan bahwa Kerajaan Sunda akan memberi tanah di mulut Ciliwung untuk tempat berlabuh kapal-kapal Portugis. Selain itu, jika Portugis sepakat membangun benteng di Sunda Kelapa, dengan tujuan agar Kesultanan Demak dan Banten tak berani mendekat, maka Kerajaan Sunda akan menyumbangkan 1.000 karung lada sebagai bukti perjanjian.

    Portugis sepakat dengan tawaran Surawisesa. Dua dokumen perjanjian akhirnya ditandatangani oleh kedua pihak, satu dokumen untuk Raja Sunda Surawisesa dan satu lagi untuk Kerajaan Portugis. 

    Dalam buku 'Da Asia' yang ditulis Joao de Barros, disebutkan bahwa saksi dari pihak Kerajaan Sunda adalah Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara, dan Syahbandar. Sedangkan dari pihak Portugis ada delapan orang. Satu salinan perjanjian itu sekarang dapat kalian temui di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara satunya tersimpan di Arsip Nasional Torre de Tombo, Lisbon, Portugal.

    Lalu, setelah perjanjian disepakati, kedua pihak mendatangi tanah yang dijanjikan Kerajaan Sunda, yakni mulut Ciliwung, sekarang Jalan Kali Besar Timur I Jakarta Barat, untuk berlabuhnya kapal-kapal Portugis. Setibanya di mulut Ciliwung, kedua pihak sepakat membuat sebuah prasasti yang menjadi tanda perjanjian. Prasasti itu diberi nama Padrao.

    Nasib Perjanjian

    Kerajaan Sunda terlalu berharap kekuatan Portugis dapat menjadi momok menakutkan bagi Kesultanan Demak. Tapi, semua harapan Surawisesa buyar ketika Portugis tak pernah mendirikan benteng di Sunda Kelapa.

    Portugis tak pernah menunaikan perjanjian tersebut. Mereka tak mendirikan benteng apapun di pelabuhan Sunda Kelapa karena armadanya digerakkan total ke India yang tengah bergejolak.

    Kesultanan Demak rupanya marah dengan perjanjian antara Sunda dan Portugis. Penyerangan dan perang perebutan Sunda Kelapa akhirnya pecah tahun 1527. Kerajaan Sunda dan sejumlah pasukan Portugis yang tersisa tak berkutik mengahadapi serangan tersebut. Sunda Kepala jatuh ke tangan Kesultanan Demak pada 22 Juni 1527, yang kemudian diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Jakarta.

    Sumber Primer                                                              Oleh : Anwar Resa

     

    Jakarta
    Anwar Resa

    Anwar Resa

    Artikel Sebelumnya

    Mengenang Sang Pujangga Indonesia, Saparji...

    Artikel Berikutnya

    Sambut Hari Bhayangkara ke-76 Polresta Bogor...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani
    Bakamla RI Berikan Pertolongan Medis ABK KM Lintas Samudra 2 di Perairan Natuna
    Cegah Paham Radikalisme, Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal 
    Hendri Kampai: Jika Anda Seorang Pejabat, Sebuah Renungan dari Hati ke Hati
    Hendri Kampai: Indonesia Baru, Mimpi, Harapan, dan Langkah Menuju Perubahan

    Ikuti Kami